Sunda Wiwitan itu Konstitusional

Agustus 01, 2020

KUNINGAN (MASS) - Sunda wiwitan itu Konstitusional, karena dipahami bersama bahwa apapun bentuk  ekspresi keyakinan dari setiap warga negara Indonesia sebagai wujud kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bebas untuk dilakukan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Yang tidak diperbolehkan itu justru kalau ada warga negara yang tidak memiliki keyakinan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, seperti komunis yang nyata-nyata berfahamkan ateis.

Sumber dari segala sumber hukum negara kita telah menegaskan bahwa negara kita adalah negara yang percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana telah ditegaskan pada sila pertama Pancasila, yaitu "Ketuhanan Yang Maha Esa."

Sunda Wiwitan adalah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda sebagai wujud ekspresi kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dan ditegaskan ulang bahwa keberadaan Sunda Wiwitan tidak usah diragukan lagi adalah Konstitusional. 

Keberadaan apapun itu namanya di negara ini, ketika sudah dinyatakan Konstitusional, maka tidak seorangpun berhak untuk mengusik apalagi mengganggu dan menghalang-halanginya.

Penegasan bahwa keberadaan  Sunda Wiwitan itu adalah Konstitusional dapat dimaknai dari Pasal 29 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang secara gamblang menegaskan bahwa, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Ketentuan lain sebagai turunan dari ketentuan dalam konstitusi berkenaan dengan kebebasan beragama dan beribadah ditegaskan pula dalam UU Nomor 39 tahun 1999 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia dimana pada Pasal 22 menyatakan;  (1)Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.  (2)Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

Ketentuan-ketentuan tersebut dengan tegas dan jelas mengandung makna bahwa semua warga negara bebas beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing dengan perasaan aman, nyaman, tenang dan damai. Dan disinilah Negara berkewajiban untuk hadir dalam rangka menjamin terwujudnya situasi dan kondisi tersebut.

Penyegelan pembangunan makam sesepuh (Sunda wiwitan) yang terjadi di Kabupaten Kuningan mungkin sangat perlu untuk dikaji ulang secara komprehensif dan mendalam dari berbagai sundut pandang. Apakah kebijakan tersebut benar-benar sudah menunjukan keberpihakan pada kebenaran konstitusional atau masih ada keraguan? Karena ternyata reaksi dari kebijakan tersebut sangat beragam, bahkan ada yang secara kontras menyatakan bahwa tindakan tersebut telah mencederai prinsif-prinsif pokok penegakan Hak Asasi Mansusia yang secara tegas telah diatur dalam konstitusi kita yaitu  UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan perundangan lainnya yang terkait.

Di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang  nyata-nyata mengakui faham demokrasi (demokrasi Pancasila), secara umum ada dua asas pokok yang tidak boleh diabaikan dalam pengelolaan negara; pertama, harus adanya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia, dan kedua harus adanya partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pengelolaan negara (pemerintahan).

Alasan belum memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang di jadikan dasar eksekusi pemerintah daerah (Perda no 13 tahun 2019) apakah sudah benar-benar relevan untuk dijadikan dasar legalitas tindakan Penyegelan pembangunan makam sesepuh (Sunda wiwitan)? Atau apakah masih ada keraguan dalam penentuan dasar legalitas atas tindakan dimaksud?

Harus dipahami bahwa di Negara Indonesia yang notabene merupakan negara hukum, tindakan hukum apapun itu bentuknya harus dilakukan atas dasar hukum yang ada dan berlaku. Eksekusi terhadap suatu perkara yang diketahui secara sadar bahwa tindakan tersebut belum ada dasar hukumnya yang pasti, maka tindakan tersebut dapat dipastikan termasuk tindakan yang melanggar hukum.

Suatu ketentuan yang dapat dijadikan penuntun Langkah Pemda  dalam penentuan kebijakan ketika menghadapi persoalan dinamika kehidupan warganya yang menyangkut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi sebenarnya sudah jelas dan tegas ada jalurnya.

Secara kelembagaan pembinaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi yang ada di Indonesia tepatnya berada dinaungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi). Jadi langkah bijak yang seharusnya ditempuh oleh Pemda ketika menghadapi kebingungan dasar regulasi dalam mutuskan persoalan dimaksud adalah melakukan koordinasi dengan intensif dengan lembaga yang membidanginya tersebut.

Perlu dipahami bahwa direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi yang berada dibawah Kemendikbud mempunyai tugas untuk melakukan; Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan di bidang kelembagaan kepercayaan, komunitas kepercayaan, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional serta lingkungan budaya dan pranata sosial; Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi; Fasilitasi dan pemberian bimbingan teknis penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kelembagaan kepercayaan, komunitas kepercayaan, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional serta lingkungan budaya dan pranata sosial; Pelaksanaan kerja sama dan pemberdayaan peran serta masyarakat di bidang pembinaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi; Evaluasi penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tradisi; Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi di bidang kelembagaan kepercayaan, komunitas kepercayaan, pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional serta lingkungan budaya dan pranata sosial; Fasilitasi Pelaksanaan kebijakan.

Jadi sangatlah gamblang, bahwa tindakan Penyegelan pembangunan makam sesepuh (Sunda wiwitan) yang terjadi di Kabupaten Kuningan menurut pemikiran penulis harus dikaji ulang. Tahapan analisis  kebijakan publik yang mendalam dan komprehensif dengan melibatkan berbagai stakeholder harus dilakukan. Dan penulis sangat yakin kiranya hal tersebut dapat menjadi pembelajaran  yang sangat berharga  bagi setiap penentu kebijakan untuk kemudian dijadikan cermin dalam menentukan kebijakan pada persoalan atau bidang yang "sejenis" dimasa yang akan datang.

Penulis: Dr Toto Dianto
Akademisi Kuningan

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »